Medikolegal Penanganan Pasien Gawat Darurat
Masalah Medikolegal pada Penanganan Pasien Gawat Darurat. Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi hubungan hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat Karena secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu bagi tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat.
Menurut The American Hospital Association (AHA) pengertian gawat darurat adalah: An
emergency is any condition that in the opinion of the patient, his
family, or whoever assumes the responsibility of bringing the patient to
the hospital-requires immediate medical attention. This condition
ccontinues until a determination has been made by a health care
professional that the patient’s life or well-being is not threatened. Adakalanya
pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat darurat walaupun
sebenarnya tidak demikian. Sehubungan dengan hal itu perlu dibedakan
antara false emergency dengan true emergency yang pengertiannya adalah: A
true emergency is any condition clinically determined to require
immediate medical care. Such conditions range from those requiring
extensive immediate care and admission to the hospital to those that are
diagnostic problems and may or may not require admission after
work-upand observation.”
Untuk
menilai dan menentukan tingkat urgensi masalah kesehatan yang dihadapi
pasien diselenggarakanlah triage. Tenaga yang menangani hal tersebut
yang paling ideal adalah dokter, namun jika tenaga terbatas, di beberapa
tempat dikerjakan oleh perawat melalui standing order yang
disusun rumah sakit. Selain itu perlu pula dibedakan antara penanganan
kasus gawat darurat fase pra-rumah sakit dengan fase di rumah sakit.
Pihak yang terkait pada kedua fase tersebut dapat berbeda, di mana pada
fase pra-rumah sakit selain tenaga kesehatan akan terlibat pula orang
awam, sedangkan pada fase rumah sakit umumnya yang terlibat adalah
tenaga kesehatan, khususnya tenaga medis dan perawat. Kewenangan dan
tanggungjawab tenaga kesehatan dan orang awam tersebut telah dibicarakan
di atas. Kecepatan dan ketepatan tindakan pada fase pra-rumah sakit
sangat menentukan survivabilitas pasien.
Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat Darurat
Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam
peraturan perundang-undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin
tersebut terutama diberlakukan dalam fase pra-rumah sakit untuk
melindungi pihak yang secara sukarela beritikad baik menolong seseorang
dalam keadaan gawat darurat. Dengan demikian seorang pasien dilarang
menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang
dialaminya. Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi
adalah:
1. Kesukarelaan pihak penolong.
Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau keinginan pihak penolong untuk
memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila pihak penolong menarik
biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak berlaku.
2. Itikad baik pihak penolong.
Itikad
baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang dilakukan penolong. Hal
yang bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan trakeostomi yang
tidak perlu untuk menambah keterampilan penolong. Dalam hal
pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan
karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau
pemberian terapi maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya
kekeliruan itulah yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause).
Bila tuduhan kelalaian tersebut dilakukan dalam situasi gawat darurat
maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa
tersebut terjadi. Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan
perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang berkualifikasi sama,
pada pada situasi dan kondisi yang sama pula. Setiap tindakan medis
harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal
53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat darurat di mana harus
segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak
didampingi pasien, tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal 11
Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersebut
dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut
harus disimpan dalam berkas rekam medis dengan tidak ada harapan atau
keinginan pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk
apapun. Bila pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya,
maka doktrin tersebut tidak berlaku.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa “Persetujuan tindakan medik kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan
mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas dan lugas.
Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa
“Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau
mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”.
Disahkannya Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 sekaligus mengggugurkan Permenkes sebelumnya yaitu pada Permenkes No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih terdapat beberapa kelemahan. Pada pasal 11 hanya disebutkan bahwa yang mendapat pengecualian hanya pada pasien pingsan atau tidak sadar. Beberapa pakar mengkritisi bagaimana jika pasien tersebut sadar namun dalam keadaan darurat. Guwandi (2008) mencontoh pada kasus pasien yang mengalami kecelakaan lalu-lintas dan terdapat perdarahan serta membahayakan jiwa di tubuhnya tetapi masih dalam keadaan sadar. Contoh lain apabila seseorang digigit ular berbisa dan racun yang sudah masuk harus segera dikeluarkan atau segera dinetralisir dengan anti-venom ular.
Disahkannya Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 sekaligus mengggugurkan Permenkes sebelumnya yaitu pada Permenkes No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih terdapat beberapa kelemahan. Pada pasal 11 hanya disebutkan bahwa yang mendapat pengecualian hanya pada pasien pingsan atau tidak sadar. Beberapa pakar mengkritisi bagaimana jika pasien tersebut sadar namun dalam keadaan darurat. Guwandi (2008) mencontoh pada kasus pasien yang mengalami kecelakaan lalu-lintas dan terdapat perdarahan serta membahayakan jiwa di tubuhnya tetapi masih dalam keadaan sadar. Contoh lain apabila seseorang digigit ular berbisa dan racun yang sudah masuk harus segera dikeluarkan atau segera dinetralisir dengan anti-venom ular.
Jika ditinjau dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin
informed consent, maka yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah
suatu keadaan dimana :
a. Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik dari pasien atau anggota keluarga terdekat (next of kin)
b. Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda
c. Suatu tindakan harus segera diambil
d. Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.
Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008
pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada
keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa
dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien sadar atau pada
keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal dilakukannya
tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau
dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien
setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal ini berarti,
apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada keadaan gawat
darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan penjelasan
kepada pasien atau kelurga terdekat.
Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No.
209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien dalam keadaan gawat darurat
sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka KUH
Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan kepentingan orang
lain. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian sukarela
yaitu “Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi
urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka
secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi
urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri”.
Dalam keadaan yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan
suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut
hukum yaitu dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan
sebaik-baiknya. Maka dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai
tindakan medis yang telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan
yang timbul dari tindakan itu.
KESIMPULAN
Tindakan dalam kegawatdaruratan medik di perbolehkan tanpa melakukan persetujuan atau informed consent terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran dan diperjelas oleh KUH Perdata pasal 1354.
Daftar Rujukan
- Purbacaraka P, Soekanto S. Perihal kaedah hukum. Bandung: Alumni; 1979.
- Soekanto S, Herkutanto. Pengantar hukum kesehatan. Jakarta: CV Remadja Karya; 1987.
- Mancini MR, Gale AT. Emergency care and the law. Maryland: Aspen Publication; 1981.
- Pusponegoro AD. Perbedaan pengelolaan kasus gawat darurat prarumah sakit dan dirumah sakit. Bandung: PKGDI; 1992.
- Holder AR. Emergency room liability. JAMA 1972;220:5.
- Undang-undang No 23/1992 tentang Kesehatan
- Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis
- Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/1989 tentang Rekam Medis
- Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit
- Undang-undang No. 29/ tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
- Astuti, E.K. 2009. Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di Rumah Sakit. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
- Chazawi, A. 2007. Malpraktik Kedokteran. Malang: Bayumedia.
- Guwandi, J. 2008. Informed consent. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
- Komalawati, V. 1989. Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
- Pramana, B.T. 2007. Tinjauan Yuridis Terhadap Informed consent Sebagai Dasar Dokter Dalam Melakukan Penanganan Medis Yang Berakibat Malpraktek. Skripsi : Universitas Islam Indonesia.
- Subekti dan Tjitrosudibio. 2008. KUH Perdata. Jakarta: PT. Pradya Paramita.
- Supriadi, W. C. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung : Mandar Maju.20. Syahrani, R. 2006. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: PT. Alumni.
Ditulis Oleh : friend of the night ~ Bloger
Sobat sedang membaca artikel tentang Medikolegal Penanganan Pasien Gawat Darurat . Oleh Admin, Sobat diperbolehkan mengcopy paste dengan menggunakan Ctrl C dan menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya
No comments:
Post a Comment