19 January 2014

Penatalaksanaan Syok Neurogenik

Syok Neurogenik

 

Definisi Syok Neurogenik

Syok neurogenik disebut juga syok spinal merupakan bentuk dari syok distributif, Syok neurogenik terjadi akibat  kegagalan pusat vasomotor karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh.sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah pada pembuluh tampung (capacitance vessels). Hasil dari perubahan resistensi pembuluh darah sistemik ini  diakibatkan oleh cidera pada sistem saraf (seperti: trauma kepala, cidera spinal, atau anestesi umum yang dalam).


Syok Neurogenik



Syok neurogenik juga disebut sinkop. Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi menyeluruh di daerah splangnikus sehingga aliran darah ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut, atau nyeri hebat. Pasien merasa pusing dan biasanya jatuh pingsan. Setelah pasien dibaringkan, umumnya keadaan berubah menjadi baik kembali secara spontan.
Trauma kepala yang terisolasi tidak akan menyebabkan syok. Adanya syok pada trauma kepala harus dicari penyebab yang lain. Trauma pada medula spinalis akan menyebabkan hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis. Gambaran klasik dari syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi perifer.

Etiologi Syok Neurogenik

1. Trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok spinal).
2. Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat pada fraktur tulang.
3. Rangsangan pada medula spinalis seperti penggunaan obat anestesi spinal/lumbal.
4. Trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom).
5. Suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut.

Manifestasi Klinis Syok Neurogenik

Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok neurogenik terdapat tanda tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih lambat (bradikardi) kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa quadriplegia atau paraplegia . Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah pasien menjadi tidak sadar, barulah nadi bertambah cepat. Karena terjadinya pengumpulan darah di dalam arteriol, kapiler dan vena, maka kulit terasa agak hangat dan cepat berwarna kemerahan.

Penatalaksanaan Syok Neurogenik

Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut.
1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg).

Posisi Trendelenburg

Posisi Trendelenburg


2. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini untuk menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi distres respirasi yang berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.

3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.

4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien) :
  • Dopamin
Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi.
  • Norepinefrin
Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah. Monitor terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika norepinefrin gagal dalam menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada pemberian subkutan, diserap tidak sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap jantung (palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal kembali. Awasi pemberian obat ini pada wanita hamil, karena dapat menimbulkan kontraksi otot-otot uterus.
  • Epinefrin
Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan dimetabolisme cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenik
  • Dobutamin
Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh menurunnya cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi perifer.
Pasien-pasien yang diketahui/diduga mengalami syok neurogenik harus diterapi sebagai hipovolemia. Pemasangan kateter untuk mengukur tekanan vena sentral akan sangat membantu pada kasus-kasus syok yang meragukan.

Kesimpulan

Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan mengenal gejala-gejala syok, mengetahui, dan mengantisipasi penyebab syok serta efektivitas dan efisiensi kerja kita pada saat-saat/menit-menit pertama pasien mengalami syok.

Daftar Pustaka

  1. Alexander R H, Proctor H J. Shock. Dalam buku: Advanced Trauma Life Support Course for Physicians. USA, 1993 ; 75 – 94
  2. Atkinson R S, Hamblin J J, Wright J E C. Shock. Dalam buku: Hand book of Intensive Care. London: Chapman and Hall, 1981; 18-29.
  3. Bartholomeusz L, Shock, dalam buku: Safe Anaesthesia, 1996; 408-413
  4. Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock. Dalam buku: Darovic G O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical Application. USA : EB. Saunders Co. 1995 ; 441 – 499.
  5. Haupt M T, Carlson R W. Anaphylactic and Anaphylactoid Reactions. Dalam buku: Shoemaker W C, Ayres S, Grenvik A eds, Texbook of Critical Care. Philadelphia, 1989 ; 993 – 1002.
  6. Thijs L G. The Heart in Shock (With Emphasis on Septic Shock). Dalam kumpulan makalah: Indonesian Symposium On Shock & Critical Care. Jakarta-Indonesia, August 30 – September 1, 1996 ; 1 – 4.
  7. Wilson R F, ed. Shock. Dalam buku: Critical Care Manual. 1981; c:1-42.
  8. Zimmerman J L, Taylor R W, Dellinger R P, Farmer J C, Diagnosis and Management of Shock, dalam buku: Fundamental Critical Support. Society of Critical Care Medicine, 1997.
Read More..

Penatalaksanaan Syok Septik

Syok Septik

 

Definisi

Syok septik adalah syok yang disebabkan oleh infeksi yang menyebar luas yang merupakan bentuk paling umum syok distributif. Pada kasus trauma, syok septik dapat  terjadi bila pasien datang terlambat beberapa jam ke rumah sakit. Syok septik terutama terjadi pada pasien-pasien dengan luka tembus abdomen dan kontaminasi rongga peritonium dengan isi usus.

 
Syok Septik




Etiologi

Mikroorganisme penyebab syok septik adalah bakteri gram negatif. Ketika mikroorganisme menyerang jaringan tubuh, pasien akan menunjukkan suatu respon imun. Respon imun ini membangkitkan aktivasi berbagai mediator kimiawi yang mempunyai berbagai efek yang mengarah pada syok, yaitu peningkatan permeabilitas kapiler, yang mengarah pada perembesan cairan dari kapiler dan vasodilatasi.
Bakteri  gram negatif menyebabkan infeksi sistemik yang mengakibatkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil gram negatif ini menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer menyebabkan terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskuler ke intertisial yang terlihat sebagai udem. Pada syok septik hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman. Gejala syok septik yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0.5 cc/kg/jam, tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala takikardia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang melebar.



Sepsis Development and Progression

Gambaran Klinis

Manifestasi spesifik akan bergantung pada penyebab syok,  kecuali syok neurogenik akan mencakup :
  1. Kulit yang dingin dan lembab
  2. Pucat
  3. Peningkatan kecepatan denyut jantung dan pernapasan
  4. Penurunan drastis tekanan darah
Sedangkan individu dengan syok neurogenik akan memperlihatkan kecepatan denyut jantung yang normal atau melambat tetapi akan hangat dan kering apabila kulitnya diraba.


Penatalaksanaan

  • Pengumpulan spesimen urin, darah, sputum dan drainase luka dilakukan dengan tekhnik aseptik
  • Pemberian suplementasi nutrisi tinggi kandungan protein secara agresif dilakukan selama 4 hari dari awitan syok.
  • Pemberian cairan intravena dan obat-obatan yang diresepkan termasuk antibiotik Dopamin, dan Vasopresor untuk optimalisasi volume intravaskuler

Komplikasi

  • Kegagalan multi organ akibat penurunan aliran darah dan hipoksia jaringan yang berkepanjangan
  • Sindrom distres pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan alveolus kapiler karena hipoksia

Kesimpulan

Insiden syok septik dapat dikurangi dengan melakukan praktik pengendalian infeksi, melakukan teknik aseptik yang cermat, melakukan debriden luka untuk membuang jarinan nekrotik, pemeliharaan dan pembersihan peralatan secara tepat dan mencuci tangan dengan benar.
Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan mengenal gejala-gejala syok, mengetahui, dan mengantisipasi penyebab syok serta efektivitas dan efisiensi kerja kita pada saat-saat/menit-menit pertama penderita mengalami syok.


Daftar Pustaka

  1. Alexander R H, Proctor H J. Shock. Dalam buku: Advanced Trauma Life Support Course for Physicians. USA, 1993 ; 75 – 94
  2. Atkinson R S, Hamblin J J, Wright J E C. Shock. Dalam buku: Hand book of Intensive Care. London: Chapman and Hall, 1981; 18-29.
  3. Bartholomeusz L, Shock, dalam buku: Safe Anaesthesia, 1996; 408-413
  4. Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock. Dalam buku: Darovic G O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical Application. USA : EB. Saunders Co. 1995 ; 441 – 499.
  5. Haupt M T, Carlson R W. Anaphylactic and Anaphylactoid Reactions. Dalam buku: Shoemaker W C, Ayres S, Grenvik A eds, Texbook of Critical Care. Philadelphia, 1989 ; 993 – 1002.
  6. Thijs L G. The Heart in Shock (With Emphasis on Septic Shock). Dalam kumpulan makalah: Indonesian Symposium On Shock & Critical Care. Jakarta-Indonesia, August 30 – September 1, 1996 ; 1 – 4.
  7. Wilson R F, ed. Shock. Dalam buku: Critical Care Manual. 1981; c:1-42.
  8. Zimmerman J L, Taylor R W, Dellinger R P, Farmer J C, Diagnosis and Management of Shock, dalam buku: Fundamental Critical Support. Society of Critical Care Medicine, 1997.
Read More..

Penatalaksanaan Syok Anafilaktik

Penatalaksanaan Syok Anafilaktik

Syok Anafilaktik


Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas. Antigen yang bersangkutan terikat pada antibodi dipermukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi, pengeluaran histamin, dan zat vasoaktif lain. Keadaan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas dan dilatasi kapiler menyeluruh. Terjadi hipovolemia relatif karena vasodilatasi yang mengakibatkan syok, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan udem. Pada syok anafilaktik, bisa terjadi bronkospasme yang menurunkan ventilasi.


Syok Anafilaktik
Syok Anafilaktik

Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan intravena seperti antibiotik atau media kontras. Sengatan serangga seperti lebah juga dapat menyebabkan syok pada orang yang rentan.

Penatalaksanaan Syok Anafilaktik

Penatalaksanaan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian atau cacat organ tubuh menetap.
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
  1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
  2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
    1. Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
    2. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
    3. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru.
  1. Segera berikan adrenalin 0.3–0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau 0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2–4 ug/menit.
  2. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5–6 mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan 0.4–0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
  3. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 5–10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.
  4. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20–40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.
  5. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
  6. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2–3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi.

Pencegahan Syok Anafilaktik

Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian obat, tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan, antara lain:
  1. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat.
  2. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai risiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
  3. Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaktik. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1–3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
  4. Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik atau anafilaktoid serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan.

Mempertahankan Suhu Tubuh

Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita untuk mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh penderita karena akan sangat berbahaya.

Pemberian Cairan

  1. Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-mual, muntah, atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru.
  2. Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau dibius dan yang mendapat trauma pada perut serta kepala (otak).
  3. Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila penderita menjadi mual atau muntah.
  4. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
  5. Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang dengan jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan yang hilang, darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus diganti dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus diganti dengan larutan isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid memerlukan volume 3–4 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah perdarahan yang hilang. Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang dikombinasi dengan larutan ringer laktat sama efektifnya dengan darah lengkap.
  6. Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian cairan yang berlebihan.
  7. Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan berlebihan yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi darah dan tindakan untuk menghilangkan nyeri.
  8. Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat, mengingat pada syok septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk (Multiple Organ Disfunction). Diperlukan pemantauan alat canggih berupa pemasangan CVP, “Swan Ganz” kateter, dan pemeriksaan analisa gas darah.

Kesimpulan

Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan mengenal gejala-gejala syok, mengetahui, dan mengantisipasi penyebab syok serta efektivitas dan efisiensi kerja kita pada saat-saat/menit-menit pertama penderita mengalami syok.

Daftar Pustaka

  1. Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock. Dalam buku: Darovic G O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical Application. USA : EB. Saunders Co. 1995 ; 441 – 499.
  2. Alexander R H, Proctor H J. Shock. Dalam buku: Advanced Trauma Life Support Course for Physicians. USA, 1993 ; 75 – 94
  3. Haupt M T, Carlson R W. Anaphylactic and Anaphylactoid Reactions. Dalam buku: Shoemaker W C, Ayres S, Grenvik A eds, Texbook of Critical Care. Philadelphia, 1989 ; 993 – 1002.
  4. Thijs L G. The Heart in Shock (With Emphasis on Septic Shock). Dalam kumpulan makalah: Indonesian Symposium On Shock & Critical Care. Jakarta-Indonesia, August 30 – September 1, 1996 ; 1 – 4.
  5. Zimmerman J L, Taylor R W, Dellinger R P, Farmer J C, Diagnosis and Management of Shock, dalam buku: Fundamental Critical Support. Society of Critical Care Medicine, 1997.
  6. Atkinson R S, Hamblin J J, Wright J E C. Shock. Dalam buku: Hand book of Intensive Care. London: Chapman and Hall, 1981; 18-29.
  7. Wilson R F, ed. Shock. Dalam buku: Critical Care Manual. 1981; c:1-42.
  8. Bartholomeusz L, Shock, dalam buku: Safe Anaesthesia, 1996; 408-413
Read More..

Penatalaksanaan Syok Hipovolemik

Penatalaksanaan Syok Hipovolemik

Syok Hipovolemik


Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien trauma, baik oleh karena perdarahan yang terlihat maupun perdarahan yang tidak terlihat. Perdarahan yang terlihat, perdarahan dari luka, atau hematemesis dari tukak lambung. Perdarahan yang tidak terlihat, misalnya perdarahan dari saluran cerna, seperti tukak duodenum, cedera limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis, dan patah tulang besar atau majemuk.

Syok Hipovolemik

Syok Hipovolemik
 

Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain. Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui permukaan kulit yang hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau diare juga dapat mengakibatkan kehilangan banyak cairan intravaskuler. Pada obstruksi, ileus dapat terkumpul beberapa liter cairan di dalam usus. Pada diabetes atau penggunaan diuretik kuat, dapat terjadi kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan. Kehilangan cairan juga dapat ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis akut, atau peritonitis purulenta difus.

Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons tubuh terhadap perdarahan bergantung pada volume, kecepatan, dan lama perdarahan. Bila volume intravaskular berkurang, tubuh akan selalu berusaha untuk mempertahankan perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi organ lain seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi perubahan-perubahan hormonal melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron, sistem ADH, dan sistem saraf simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravaskular, dengan akibat terjadi hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial.
Dengan demikain, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah menormalkan kembali volume intravaskular dan interstitial. Bila defisit volume intravaskular hanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi defisit interstitial, dengan akibat tanda-tanda vital yang masih belum stabil dan produksi urin yang kurang. Pengembalian volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dsb) dan cairan garam seimbang.

Penatalaksanaan Syok Hipovolemik

Pasang satu atau lebih jalur infus intravena no. 18/16. Infus dengan cepat larutan kristaloid atau kombinasi larutan kristaloid dan koloid sampai vena (v. jugularis) yang kolaps terisi. Sementara, bila diduga syok karena perdarahan, ambil contoh darah dan mintakan darah. Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah udem paru, terutama pasien tua. Perhatian harus ditujukan agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan.

Pemantauan yang perlu dilakukan dalam menentukan kecepatan infus:
Nadi: nadi yang cepat menunjukkan adanya hipovolemia.
Tekanan darah: bila tekanan darah < 90 mmHg pada pasien normotensi atau tekanan darah turun > 40 mmHg pada pasien hipertensi, menunjukkan masih perlunya transfusi cairan.
Produksi urin. Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin. Produksi urin harus dipertahankan minimal 1/2 ml/kg/jam. Bila kurang, menunjukkan adanya hipovolemia. Cairan diberikan sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba. Bila volume intra vaskuler cukup, tekanan darah baik, produksi urin < 1/2 ml/kg/jam, bisa diberikan Lasix 20-40 mg untuk mempertahankan produksi urine. Dopamin 2–5 µg/kg/menit bisa juga digunakan pengukuran tekanan vena sentral (normal 8–12 cmH2O), dan bila masih terdapat gejala umum pasien seperti gelisah, rasa haus, sesak, pucat, dan ekstremitas dingin, menunjukkan masih perlu transfusi cairan.

Kesimpulan

Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan mengenal gejala-gejala syok, mengetahui, dan mengantisipasi penyebab syok serta efektivitas dan efisiensi kerja kita pada saat-saat/menit-menit pertama penderita mengalami syok.

Daftar Pustaka

  1. Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock. Dalam buku: Darovic G O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical Application. USA : EB. Saunders Co. 1995 ; 441 – 499.
  2. Alexander R H, Proctor H J. Shock. Dalam buku: Advanced Trauma Life Support Course for Physicians. USA, 1993 ; 75 – 94
  3. Haupt M T, Carlson R W. Anaphylactic and Anaphylactoid Reactions. Dalam buku: Shoemaker W C, Ayres S, Grenvik A eds, Texbook of Critical Care. Philadelphia, 1989 ; 993 – 1002.
  4. Thijs L G. The Heart in Shock (With Emphasis on Septic Shock). Dalam kumpulan makalah: Indonesian Symposium On Shock & Critical Care. Jakarta-Indonesia, August 30 – September 1, 1996 ; 1 – 4.
  5. Zimmerman J L, Taylor R W, Dellinger R P, Farmer J C, Diagnosis and Management of Shock, dalam buku: Fundamental Critical Support. Society of Critical Care Medicine, 1997.
  6. Atkinson R S, Hamblin J J, Wright J E C. Shock. Dalam buku: Hand book of Intensive Care. London: Chapman and Hall, 1981; 18-29.
  7. Wilson R F, ed. Shock. Dalam buku: Critical Care Manual. 1981; c:1-42.
  8. Bartholomeusz L, Shock, dalam buku: Safe Anaesthesia, 1996; 408-413
Read More..

Penatalaksanaan Syok Kardiogenik

Penatalaksanaan Syok Kardiogenik

Syok Kardiogenik



Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel, yang mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan.


Kardio



Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan curah jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi jaringan. Syok kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui adanya tanda-tanda syok dan dijumpai adanya penyakit jantung, seperti infark miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah torak, atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau sekat jantung. 

Masalah yang ada adalah kurangnya kemampuan jantung untuk berkontraksi. Tujuan utama pengobatan adalah meningkatkan curah jantung.

Etiologi Syok Kardiogenik

  1. Gangguan kontraktilitas miokardium.
  2. Disfungsi ventrikel kiri yang berat yang memicu terjadinya kongesti paru dan/atau hipoperfusi iskemik.
  3. Infark miokard akut (AMI),
  4. Komplikasi dari infark miokard akut, seperti: ruptur otot papillary, ruptur septum, atau infark ventrikel kanan, dapat mempresipitasi (menimbulkan/mempercepat) syok kardiogenik pada pasien dengan infark-infark yang lebih kecil.
  5. Valvular stenosis.
  6. Myocarditis ( inflamasi miokardium, peradangan otot jantung).
  7. Cardiomyopathy( myocardiopathy, gangguan otot jantung yang tidak diketahui penyebabnya ).
  8. Acute mitral regurgitation.
  9. Valvular heart disease.
  10. Hypertrophic obstructive cardiomyopathy.

Patofisiologi Syok Kardiogenik

Tanda dan gejala syok kardiogenik mencerminkan sifat sirkulasi patofisiologi gagal jantung. Kerusakan jantung mengakibatkan penurunan curah jantung, yang pada gilirannya menurunkan tekanan darah arteri ke organ-organ vital. Aliran darah ke arteri koroner berkurang, sehingga asupan oksigen ke jantung menurun, yang pada gilirannya meningkatkan iskemia dan penurunan lebih lanjut kemampuan jantung untuk memompa, akhirnya terjadilah lingkaran setan.
Tanda klasik syok kardiogenik adalah tekanan darah rendah, nadi cepat dan lemah, hipoksia otak yang termanifestasi dengan adanya konfusi dan agitasi, penurunan haluaran urin, serta kulit yang dingin dan lembab.
Disritmia sering terjadi akibat penurunan oksigen ke jantung.seperti pada gagal jantung, penggunaan kateter arteri pulmonal untuk mengukur tekanan ventrikel kiri dan curah jantung sangat penting untuk mengkaji beratnya masalah dan mengevaluasi penatalaksanaan yang telah dilakukan. Peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri yang berkelanjutan (LVEDP = Left Ventrikel End Diastolik Pressure) menunjukkan bahwa jantung gagal untuk berfungsi sebagai pompa yang efektif.
Menurut Mubin (2008), diagnosis syok kardiogenik adalah berdasarkan:

A. Keluhan Utama Syok Kardiogenik

  1. Oliguri (urin < 20 mL/jam).
  2. Mungkin ada hubungan dengan IMA (infark miokard akut).
  3. Nyeri substernal seperti IMA.

B. Tanda Penting Syok Kardiogenik

  1. Tensi turun < 80-90 mmHg.
  2. Takipneu dan dalam.
  3. Takikardi.
  4. Nadi cepat, kecuali ada blok A-V.
  5. Tanda-tanda bendungan paru: ronki basah di kedua basal paru.
  6. Bunyi jantung sangat lemah, bunyi jantung III sering terdengar.
  7. Sianosis.
  8. Diaforesis (mandi keringat).
  9. Ekstremitas dingin.
  10. Perubahan mental.

Komplikasi Syok Kardiogenik

  1. Cardiopulmonary arrest
  2. Disritmi
  3. Gagal multisistem organ
  4. Stroke
  5. Tromboemboli

Penatalaksanaan Medis Syok Kardiogenik :

  1. Pastikan jalan nafas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya dilakukan intubasi.
  2. Berikan oksigen 8 – 15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk mempertahankan PO2 70 – 120 mmHg
  3. Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperbesar syok yang ada harus diatasi dengan pemberian morfin.
  4. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa yang terjadi.
  5. Bila mungkin pasang CVP.
  6. Pemasangan kateter Swans Ganz untuk meneliti hemodinamik.
Medikamentosa :
  1. Morfin sulfat 4-8 mg IV, bila nyeri.
  2. Anti ansietas, bila cemas.
  3. Digitalis, bila takiaritmi dan atrium fibrilasi.
  4. Sulfas atropin, bila frekuensi jantung < 50x/menit.
  5. Dopamin dan dobutamin (inotropik dan kronotropik), bila perfusi jantung tidak adekuat. Dosis dopamin 2-15 mikrogram/kg/m.
  6. Dobutamin 2,5-10 mikrogram/kg/m: bila ada dapat juga diberikan amrinon IV.
  7. Norepinefrin 2-20 mikrogram/kg/m.
  8. Diuretik/furosemid 40-80 mg untuk kongesti paru dan  oksigenasi jaringan.
  9. Digitalis bila ada fibrilasi atrial atau takikardi supraventrikel.
Obat alternatif:
Menurut Dean AJ, Beaver KM (2007):
1. Emergent therapy
Terapi ini bertujuan untuk menstabilkan hemodinamik pasien dengan oksigen, pengaturan jalan nafas (airway control), dan akses intravena. Diperlukan usaha untuk memaksimalkan fungsi ventrikel kiri.

2. Volume expansion
Jika tidak ada tanda volume overload atau edema paru, volume expansion dengan 100mL bolus dari normal saline setiap 3 menit sebaiknya dicoba; hingga, baik perfusi yang cukup maupun terjadi kongesti paru. Pasien dengan infark ventrikel kanan memerlukan peningkatan tekanan untuk mempertahankan atau menjaga kardiak output.

3. Inotropic support
a.  Pasien dengan hipotensi ringan (tekanan darah sistolik 80-90 mmHg) dan kongesti pulmoner, untuk hasil terbaik dirawat dengan dobutamine (2,5 mikrogram/kg berat badan/menit, pada interval 10 menit). Dobutamine menyediakan dukungan inotropik saat permintaan oksigen miokardium meningkat secara minimal.
b. Pasien dengan hipotensi berat (tekanan darah sistolik kurang dari 75-80 mmHg) sebaiknya dirawat dengan dopamine.
Pada dosis lebih besar dari 5,0 mikrogram/kg berat badan/menit, stimulasi alfa-adrenergik secara bertahap meningkat, menyebabkan vasokonstriksi perifer.
Pada dosis lebih besar dari 20 mikrogram/kg berat badan/menit, dopamine meningkatkan ventricular irritability tanpa keuntungan tambahan.
c. Kombinasi dopamine dan dobutamine merupakan strategi terapeutik yang efektif untuk syok kardiogenik, meminimalkan berbagai efek samping dopamine dosis tinggi yang tidak diinginkan dan menyediakan bantuan/dukungan inotropik.
d. Jika dukungan tambahan untuk tekanan darah diperlukan, maka dapat dicoba norepinephrine, yang berefek alfa-adrenergik yang lebih kuat. Dosis awal : 0,5-1 mikrogram/menit.

4. Terapi reperfusi
Reperfusi miokardium iskemik merupakan terapi yang efektif untuk pasien dengan infark miokard akut dan syok kardiogenik.

Kesimpulan

Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan mengenal gejala-gejala syok, mengetahui, dan mengantisipasi penyebab syok serta efektivitas dan efisiensi kerja kita pada saat-saat/menit-menit pertama penderita mengalami syok.

Daftar Pustaka

  1. Alexander R H, Proctor H J. Shock. Dalam buku: Advanced Trauma Life Support Course for Physicians. USA, 1993 ; 75 – 94
  2. Atkinson R S, Hamblin J J, Wright J E C. Shock. Dalam buku: Hand book of Intensive Care. London: Chapman and Hall, 1981; 18-29.
  3. Bartholomeusz L, Shock, dalam buku: Safe Anaesthesia, 1996; 408-413
  4. Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock. Dalam buku: Darovic G O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical Application. USA : EB. Saunders Co. 1995 ; 441 – 499.
  5. Haupt M T, Carlson R W. Anaphylactic and Anaphylactoid Reactions. Dalam buku: Shoemaker W C, Ayres S, Grenvik A eds, Texbook of Critical Care. Philadelphia, 1989 ; 993 – 1002.
  6. Leksana E. Terapi Cairan dan Elektrolit. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK UNDIP). Semarang. 2004:18.
  7. Thijs L G. The Heart in Shock (With Emphasis on Septic Shock). Dalam kumpulan makalah: Indonesian Symposium On Shock & Critical Care. Jakarta-Indonesia, August 30 – September 1, 1996 ; 1 – 4.
  8. Wilson R F, ed. Shock. Dalam buku: Critical Care Manual. 1981; c:1-42.
  9. Zimmerman J L, Taylor R W, Dellinger R P, Farmer J C, Diagnosis and Management of Shock, dalam buku: Fundamental Critical Support. Society of Critical Care Medicine, 1997.
Read More..

Klasifikasi Syok

Klasifikasi Syok

Syok adalah gangguan sistem sirkulasi dimana sistem kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan darah ke seluruh tubuh dalam jumlah yang memadai yang menyebabkan tidak adekuatnya perfusi dan oksigenasi jaringan. Syok terjadi akibat berbagai keadaan yang menyebabkan berkurangnya aliran darah, termasuk kelainan jantung (misalnya serangan jantung atau gagal jantung), volume darah yang rendah (akibat perdarahan hebat atau dehidrasi) atau perubahan pada pembuluh darah (misalnya karena reaksi alergi atau infeksi).

Langkah pertama untuk bisa menanggulangi syok adalah harus bisa mengenal gejala syok. Tidak ada tes laboratorium yang bisa mendiagnosa syok dengan segera. Diagnosa dibuat berdasarkan pemahaman klinik tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan.
Langkah kedua dalam menanggulangi syok adalah berusaha mengetahui kemungkinan penyebab syok. Pada pasien trauma, pengenalan syok berhubungan langsung dengan mekanisme terjadinya trauma. Semua jenis syok dapat terjadi pada pasien trauma dan yang tersering adalah syok hipovolemik karena perdarahan. Syok kardiogenik juga bisa terjadi pada pasien-pasien yang mengalami trauma di atas diafragma dan syok neurogenik dapat disebabkan oleh trauma pada sistem saraf pusat serta medula spinalis. Syok septik juga harus dipertimbangkan pada pasien-pasien trauma yang datang terlambat untuk mendapatkan pertolongan.

Patofisiologi terjadinya syok 






Patofisiologi Syok 

Patofisiologi Syok

Tiga faktor yang dapat mempertahankan tekanan darah normal:
  1. Pompa jantung. Jantung harus berkontraksi secara efisien.
  2. Volume sirkulasi darah. Darah akan dipompa oleh jantung ke dalam arteri dan kapiler-kapiler jaringan. Setelah oksigen dan zat nutrisi diambil oleh jaringan, sistem vena akan mengumpulkan darah dari jaringan dan mengalirkan kembali ke jantung. Apabila volume sirkulasi berkurang maka dapat terjadi syok.
  3. Tahanan pembuluh darah perifer. Yang dimaksud adalah pembuluh darah kecil, yaitu arteriole-arteriole dan kapiler-kapiler. Bila tahanan pembuluh darah perifer meningkat, artinya terjadi vasokonstriksi pembuluh darah kecil. Bila tahanan pembuluh darah perifer rendah, berarti terjadi vasodilatasi. Rendahnya tahanan pembuluh darah perifer dapat mengakibatkan penurunan tekanan darah. Darah akan berkumpul pada pembuluh darah yang mengalami dilatasi sehingga aliran darah balik ke jantung menjadi berkurang dan tekanan darah akan turun.
Penyebab syok dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
  1. Syok kardiogenik (kegagalan kerja jantungnya sendiri): (a) Penyakit jantung iskemik, seperti infark; (b) Obat-obat yang mendepresi jantung; dan (c) Gangguan irama jantung.
  2. Syok hipovolemik (berkurangnya volume sirkulasi darah): (a) Kehilangan darah, misalnya perdarahan; (b) Kehilangan plasma, misalnya luka bakar; dan (c) Dehidrasi: cairan yang masuk kurang (misalnya puasa lama), cairan keluar yang banyak (misalnya diare, muntah-muntah, fistula, obstruksi usus dengan penumpukan cairan di lumen usus).
  3. Syok obstruktif (gangguan kontraksi jantung akibat di luar jantung): (a) Tamponade jantung; (b) Pneumotorak; dan (c) Emboli paru.
Syok distributif (berkurangnya tahanan pembuluh darah perifer): (a) Syok neurogenik; (b) Cedera medula spinalis atau batang otak; (c) Syok anafilaksis; (d) Obat-obatan; (e) Syok septik; serta (f) Kombinasi, misalnya pada sepsis bisa gagal jantung, hipovolemia, dan rendahnya tahanan pembuluh darah perifer.

Tanda dan Gejala Syok

Sistem Kardiovaskuler

  • Gangguan sirkulasi perifer – pucat, ekstremitas dingin. Kurangnya pengisian vena perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah.
  • Nadi cepat dan halus.
  • Tekanan darah rendah. Hal ini kurang bisa menjadi pegangan, karena adanya mekanisme kompensasi sampai terjadi kehilangan 1/3 dari volume sirkulasi darah.
  • Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik.
  • CVP rendah.

Sistem Respirasi

  • Pernapasan cepat dan dangkal.

Sistem saraf pusat

  • Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah sampai menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak sadar. Obat sedatif dan analgetika jangan diberikan sampai yakin bahwa gelisahnya pasien memang karena kesakitan.

Sistem Saluran Cerna

  • Bisa terjadi mual dan muntah.

Sistem Saluran Kencing

  • Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa adalah 60 ml/jam (1/5–1 ml/kg/jam).

Penanggulangan Syok
Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan mempertahankan suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal.
Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (A = air way) harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (B = breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Defisit volume peredaran darah (C = circulation) pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia relatif (syok septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi dengan pemberian cairan intravena dan bila perlu pemberian obat-obatan inotropik untuk mempertahankan fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer.
Segera menghentikan perdarahan yang terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat, yang juga bisa merupakan penyebab syok. Pada syok septik, sumber sepsis harus dicari dan ditanggulangi.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai pertolongan pertama dalam menghadapi syok:

Posisi Tubuh

  1. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara umum posisi penderita dibaringkan telentang dengan tujuan meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital.
  2. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan digerakkan sampai persiapan transportasi selesai, kecuali untuk menghindari terjadinya luka yang lebih parah atau untuk memberikan pertolongan pertama seperti pertolongan untuk membebaskan jalan napas.
  3. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka, atau penderita tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring miring) untuk memudahkan cairan keluar dari rongga mulut dan untuk menghindari sumbatan jalan nafas oleh muntah atau darah. Penanganan yang sangat penting adalah meyakinkan bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk menghindari terjadinya asfiksia.
  4. Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau kepala agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah dari bagian tubuh lainnya.
  5. Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita dibaringkan dengan posisi telentang datar.
  6. Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang dengan kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar dan tekanan darah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali.

Pertahankan Respirasi

  1. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah.
  2. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas (Gudel/oropharingeal airway).
  3. Berikan oksigen 6 liter/menit
  4. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa sungkup (Ambu bag) atau ETT.

Pertahankan Sirkulasi

Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi, tekanan darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan (CVP).
Cari dan atasi penyebab syok :
Read More..

Penanganan Umum Syok

Penanganan Umum Syok

 

Definisi / Pengertian Syok

Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland tentang fisiologi keadaan syok dan homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigen ke jaringan. Sirkulasi darah berguna untuk mengantarkan oksigen dan zat-zat lain ke seluruh tubuh serta membuang zat-zat sisa yang sudah tidak diperlukan.


syok 
Syok


Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan terapi yang agresif dan pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit terapi intensif.
Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala sebagai berikut:
1. Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau MAP (mean arterial pressure / tekanan arterial rata-rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30% lebih.
2. Oliguria: produksi urin kurang dari 30 ml/jam.
3. Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta pengisian kapiler yang jelek.

Penyebab Syok

Syok dapat disebabkan oleh kegagalan jantung dalam memompa darah (serangan jantung atau gagal jantung), pelebaran pembuluh darah yang abnormal (reaksi alergi, infeksi), dan kehilangan volume darah dalam jumlah besar (perdarahan hebat).

Tahapan Syok

Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi (masih dapat ditangani oleh tubuh), dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh), dan ireversibel (tidak dapat pulih).

Tahap kompensasi adalah tahap awal syok saat tubuh masih mampu menjaga fungsi normalnya. Tanda atau gejala yang dapat ditemukan pada tahap awal seperti kulit pucat, peningkatan denyut nadi ringan, tekanan darah normal, gelisah, dan pengisian pembuluh darah  yang lama. Gejala-gejala pada tahap ini sulit untuk dikenali karena biasanya individu yang mengalami syok terlihat normal.

Tahap dekompensasi dimana tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsi-fungsinya. Yang terjadi adalah tubuh akan berupaya menjaga organ-organ vital yaitu dengan mengurangi aliran darah ke lengan, tungkai, dan perut dan mengutamakan aliran ke otak, jantung, dan paru. Tanda dan gejala yang dapat ditemukan diantaranya adalah rasa haus yang hebat, peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah, kulit dingin, pucat, serta kesadaran yang mulai terganggu.

Tahap ireversibel dimana kerusakan organ yang terjadi telah menetap dan tidak dapat diperbaiki. Tahap ini terjadi jika tidak dilakukan pertolongan sesegera mungkin, maka aliran darah akan mengalir sangat lambat sehingga menyebabkan penurunan tekanan darah dan denyut jantung. Mekanisme pertahanan tubuh akan mengutamakan aliran darah ke otak dan jantung sehingga aliran ke organ-organ seperti hati dan ginjal menurun. Hal ini yang menjadi penyebab rusaknya hati maupun ginjal. Walaupun dengan pengobatan yang baik sekalipun, kerusakan organ yang terjadi telah menetap dan tidak dapat diperbaiki.

Jenis  Syok

Syok digolongkan ke dalam beberapa kelompok yaitu :
1.  Syok kardiogenik (berhubungan dengan kelainan jantung)
2.  Syok hipovolemik ( akibat penurunan volume darah)
3.  Syok anafilaktik (akibat reaksi alergi)
4.  Syok septik (berhubungan dengan infeksi)
5.  Syok neurogenik (akibat kerusakan pada sistem saraf).

Penanganan Syok

Sebagai penolong yang berada di tempat kejadian, hal yang pertama-tama dapat dilakukan  apabila melihat ada korban dalam keadaan syok adalah :
  1. Melihat keadaan sekitar apakah berbahaya (danger) , baik untuk penolong maupun yang ditolong (contoh keadaan berbahaya : di tengah kobaran api)
  2. Buka jalan napas korban, dan pertahankan kepatenan jalan nafas (Airway)
  3. Periksa pernafasan korban (Breathing)
  4. Periksa nadi dan Cegah perdarahan yang berlanjut (Circulation)
  5. Peninggian tungkai sekitar 8-12 inchi jika ABC clear
  6. Cegah hipotermi dengan menjaga suhu tubuh pasien tetap hangat (misal dengan selimut)
  7. Lakukan penanganan cedera pasien secara khusus selama menunggu bantuan medis tiba. Periksa kembali pernafasan, denyut jantung suhu tubuh korban (dari hipotermi) setiap 5 menit.

Penyebab Syok

Syok bisa disebabkan oleh:
  • Perdarahan (syok hipovolemik)
  • Dehidrasi (syok hipovolemik)
  • Serangan jantung (syok kardiogenik)
  • Gagal jantung (syok kardiogenik)
  • Infeksi (syok septik)
  • Reaksi alergi (syok anafilaktik)
  • Cedera tulang belakang (syok neurogenik)

Gejala Syok

Gejala yang timbul tergantung kepada penyebab dan jenis syok. Gejalanya bisa berupa:
- gelisah
- bibir dan kuku jari tangan tampak kebiruan
- kulit lembab dan dingin
- pembentukan urine berkurang atau sama sekali tidak terbentuk urine
- pusing
- tekanan darah rendah
- keringat berlebihan, kulit lembab
- denyut nadi yang cepat
- pernafasan dangkal
- tidak sadarkan diri
- lemah.
- nadi cepat dan lemah
- nafas cepat, dangkal, dan tidak teratur
- kulit pucat, dingin, dan lembab
- wajah pucat dan sianosis (bibir membiru)
- pupil mata melebar
- status mental berubah (gelisah, mual, haus, pusing, ketakutan, dan lain-lain)

Informasi Penyebab, Penanganan, Pencegahan masing-masing syok bisa dilihat melalui link berikut.
Read More..

Anatomi Fisiologi Airway Breathing

Anatomi Fisiologi Airway Breathing


Anatomi Dan Fisiologi Airway Dan Breathing. Pengelolaan airway dan breathing berfungsi untuk mempertahankan oksigenasi otak dan bagian tubuh lainnya, merupakan  hal yang penting dalam penanganan penderita , jika tidak maka penderita akan meninggal dengan cepat.
Sistem respirasi memiliki dua fungsi utama, yaitu :
  1. Berfungsi menyediakan oksigen bagi sel darah merah yang kemudian akan membawa oksigen tersebut ke seluruh tubuh. Dalam proses metabolisme aerobik, sel tubuh menggunakan oksigen sebagai bahan bakar dan akan memproduksi karbon dioksida sebagai hasil sampingan.
  2. Pelepasan karbon dioksida dari tubuh merupakan tugas kedua dari sistem respirasi. Ketidakmampuan sistem respiratorik dalam menyediakan oksigen bagi sel atau melepaskan karbondioksida, akan menimbulkan kematian.
Kematian oleh karena masalah airway pada trauma disebabkan oleh :
  • Kegagalan dalam mengenal airway yang tersumbat sebagian atau ketidakmampuan penderita untuk melakukan ventilasi dengan cukup. Gabungan obstruksi jalan nafas dengan ketidak cukupan ventilasi dapat menyebabkan hipoksia sehingga akan mengancam nyawa. Keadaan seperti ini mungkin terlupakan bila ditemukan perlukaan yang nampaknya lebih serius.
  • Adanya kesulitan teknis dalam menjaga jalan nafas dan teknis membantu ventilasi. Intubasi yang salah akan memperburuk ventilasi dan dengan cepat dapat mengakibatkan kematian bila tidak dikenali secara dini.
  • Aspirasi isi gaster.
 
http://alzhippo.blogspot.com/2014/01/anatomi-fisiologi-airway-breathing.html 

Anatomi Sistem Pernafasan


Sistem pernafasan terdiri dari jalan nafas atas, jalan nafas bawah dan paru. Setiap bagian sistem ini memainkan peran yang penting dalam proses pernafasan, yaitu dimana oksigen dapat masuk ke aliran darah dan karbon dioksida dilepaskan.

Jalan Nafas Atas

Jalan nafas atas merupakan suatu saluran terbuka yang memungkinkan udara atmosfer masuk melalui hidung, mulut, dan bronkus hingga ke alveoli. Jalan nafas atas terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, laring, trakea. Udara yang masuk dari rongga hidung akan mengalami proses penghangatan, pelembaban dan penyaringan dari segala kotoran. Setelah rongga hidung dapat dijumpai daerah faring, mulai dari bagian belakang palatum mole sampai ujung bagian atas esofagus.
Faring terdiri atas tiga bagian, yaitu:
  1. Naso faring  (bagian atas) di belakang hidung.
  2. Orofaring (bagian tengah) dapat dilihat saat membuka mulut.
  3. Hipofaring (bagian akhir), sebelum menjadi laring.
Di bawah faring terdapat esofagus dan laring yang merupakan permulaan jalan nafas bawah. Di dalam laring terdapat pita suara dan otot-otot yang dapat membuatnya bekerja, serta terdiri dari tulang rawan yang kuat. Pita suara merupakan suatu lipatan jaringan yang mendekat di garis tengah.
Tepat diatas laring, terdapat struktur yang berbentuk daun yang disebut epiglotis. Epiglotis berfungsi sebagai pintu gerbang yang akan mengantarkan udara yang menuju trakea, sedangkan benda padat dan cair akan dihantarkan menuju esofagus. Dibawah laring, jalan nafas akan menjadi trakea yang terdiri dari cincin-cincin tulang rawan.

Jalan Nafas Bagian Bawah

Terdiri dari bronkus dan percabangannya serta paru-paru. Pada saat inspirasi udara masuk melalui jalan nafas atas menuju jalan nafas bawah sebelum mencapai paru-paru. Trakea terbagi menjadi dua cabang, yaitu bronkus utama kanan dan bronkus utama kiri. Masing-masing bronkus utama terbagi lagi menjadi beberapa bronkus primer dan kemudian terbagi lagi menjadi bronkiolus.

Fisiologi Sistem Pernafasan

Ketika udara atmosfer mencapai alveoli, oksigen akan bergerak dari alveoli melintasi membran alveolar kapiler dan menuju sel darah merah. Sistem sirkulasi kemudian akan membawa oksigen yang telah berikatan dengan sel darah merah menuju jaringan tubuh, dimana oksigen akan digunakan sebagai bahan bakar dalam proses metabolisme.

Pertukaran oksigen dan karbon dioksida pada membran alveolar kapiler dikenal dengan istilah difusi pulmonal. Setelah proses pertukaran gas selesai (kadar karbondioksida yang rendah) akan menuju sisi kiri jantung, dan akan dipompakan ke seluruh sel dalam tubuh.
Saat mencapai jaringan, sel darah merah yang teroksigenasi ini akan melepaskan ikatannya dengan oksigen dan oksigen tersebut digunakan untuk bahan bakar metabolisme. Juga karbondioksida akan masuk sel darah merah. Sel darah merah yang rendah oksigen dan tinggi karbondioksida akan menuju sisi kanan jantung untuk kemudian dipompakan ke paru-paru.
Hal yang sangat penting dalam proses ini adalah bahwa alveoli harus terus menerus mengalami pengisian dengan udara segar yang mengandung oksigen dalam jumlah yang cukup.
Proses pernafasan sendiri ada dua yaitu inspirasi (menghirup) dan ekspirasi (mengeluarkan nafas).
Inspirasi dilakukan oleh dua jenis otot:
  1. Otot interkostal, antara iga-iga. Pernafasan ini dikenal sebagai pernafasan torakal. Otot dipersarafi oleh nervus interkostalis (torakall 1 – 12)
  2. Otot diafragma, bila berkontraksi diafragma akan menurun. Hal ini dikenal sebagai pernafasan abdominal, dan persarafan melalui nerfus frenikus yang berasal dari cervikal 3-4-5.
 
 
inspirasi-ekspirasi
Inspirasi-Ekspirasi


Pusat pernafasan ada di batang otak, yang mendapat rangsangan melalui baro reseptor  yang terdapat di aorta dan arteri karotis. Melalui nervus frenikus dan nervus interkostalis akan menjadi pernafasan abdomino-torakal (pada bayi disebut torako-abdominal).
Dalam keadaan normal volume udara yang kita hirup saat bernafas  dikenal sebagai tidal volume. Bila membutuhkan oksigen lebih banyak maka akan dilakukan penambahan volume pernafasan melalui pemakaian otot-otot pernafasan tambahan.
Jika tidal volume adalah 7 cc/kg Berat Badan, maka pada penderita dengan berat 70 kg, tidal volumenya 500 cc. Dengan frekuensi nafas 14 kali / menit, maka volume permenit 500 × 14 = 7000 cc / menit.
Bila pernafasan lebih dari 40 kali / menit, maka penderita harus dianggap mengalami hipoventilasi (nafas dangkal). Baik frekuensi nafas maupun kedalaman nafas harus dipertimbangkan saat mengevaluasi pernafasan. Kesalahan yang sering terjadi adalah anggapan bahwa penderita dengan frekuensi nafas yang cepat berarti mengalami hiperventilasi.

Read More..

Triage di Unit Gawat Darurat

Triage di Unit Gawat Darurat

 

Definisi

Sistem Triage: Proses di mana seorang klinisi menilai tingkat urgensi pasien.

Triage: Sistem triage adalah struktur dasar dimana semua pasien yang datang dikategorikan ke dalam kelompok tertentu dengan menggunakan standar skala penilaian urgensi atau struktur.

Re-triage: status klinis adalah merupakan kondisi yang dinamis. Jika terjadi perubahan status klinis yang akan berdampak pada perubahan kategori triage, atau jika didapatkan informasi tambahan tentang kondisi pasien yang akan mempengaruhi urgensi (lihat di bawah), maka triage ulang harus dilakukan. Ketika seorang pasien kembali diprioritaskan, kode triage awal dan kode triage selanjutnya harus didokumentasikan. Alasan untuk melakukan triage ulang juga harus didokumentasikan.

Urgensi: Urgensi ditentukan berdasarkan kondisi klinis pasien dan digunakan untuk menentukan kecepatan intervensi yang diperlukan untuk mencapai hasil yang optimal. Tingkat urgensi adalah tingkat keparahan atau kompleksitas suatu penyakit atau cedera. Sebagai contoh, pasien mungkin akan diprioritaskan ke peringkat urgensi yang lebih rendah karena mereka dinilai cukup aman bagi mereka untuk menunggu memperoleh pemeriksaan emergensi, walaupun mereka mungkin memerlukan rawat inap di rumah sakit untuk kondisi mereka atau mempunyai kondisi morbiditas yang signifikan dan resiko kematian.

Sejarah Singkat Triage

Istilah Triage berasal dari bahasa prancis Trier, yang berarti untuk memilih atau memilah. Triage sistem pertama kali digunakan untuk memprioritaskan perawatan medis selama perang Napoleon pada abad ke-18. Setelah perang dilakukan penyempurnaan sistem untuk memindahkan secara cepat korban yang terluka dari medan perang ke tempat perawatan definitive. Sistem triage Mass Casualty Insiden (MCI) juga telah dikembangkan. Prinsip yang mendasari triage MCI adalah mencapai hasil yang terbaik untuk jumlah korban yang banyak dalam kondisi dimana kebutuhan klinis melebihi sumber daya yang tersedia.
Dalam pengobatan sipil, sistem triage telah disempurnakan dan diadaptasi untuk digunakan dalam berbagai situasi. Dalam semua lingkungan pelayanan kesehatan, proses triage ditopang oleh pertimbangan bahwa semakin sedikit waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh pelayanan medis yang devinitif pasti akan meningkatkan dampak layanana kesehatan bagi pasien.

Standarisasi skala triage berguna dalam mengembangkan strategi untuk mengelola unit gawat darurat. Dalam konteks ini mereka juga dapat digunakan untuk memberikan informasi tentang perkembangan pelayanan kesehatan, manajemen risiko klinis dan keselamatan pasien.

Tujuan dari Sistem Triage

Tujuan dari sistem triage adalah untuk memastikan bahwa tingkat dan kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat adalah sesuai dengan kriteria klinis, bukan didasarkan pada kebutuhan organisasi atau administrasi. Standar sistem triage bertujuan untuk mengoptimalkan keselamatan dan efisiensi pelayanan darurat berbasis rumah sakit untuk menjamin kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan diseluruh lapisan masyarakat.
Penggunaan sistem triage memfasilitasi peningkatan standar kualitas di unit gawat darurat, karena memungkinkan untuk dilakukan perbandingan indikator kinerja utama (lama waktu untuk perawatan berdasarkan kategori triage) baik di unit itu sendiri maupun antar unit gawat darurat. Sejak awal 1990-an penggunaan sistem informasi komputerisasi di unit gawat darurat Australia telah memungkinkan melakukan perhitungan waktu penanganan dihubungkan dengan hasil pelayanan kesehatan, termasuk kode triage, keluhan utama, diagnosis dan tujuan pemulangan.

Fungsi Triage

Triage mempunyai fungsi penting dalam pemberian pelayanan di unit gawat darurat, dimana sejumlah orang dengan berbagai kondisi yang sama dapat datang ke UGD pada waktu yang bersamaan. Meskipun sistem triage mungkin berfungsi dengan cara yang sedikit berbeda tergantung sejumlah faktor lokal, namun sistem triage yang efektif memberikan dampak yang penting seperti berikut ini:
  • Sebagai sebuah tempat masuk tunggal untuk semua pasien datang (pasien dengan ambulans dan tanpa ambulans), sehingga semua pasien memperoleh proses penilaian yang sama.
  • Lingkungan fisik yang sesuai untuk melakukan pemeriksaan singkat. Juga diperlukan lingkungan yang memberikan kemudahan untuk pasien menyampaikan kondisi klinis, memperoleh rasa aman dan persyaratan administrasi, serta ketersediaan peralatan pertolongan pertama serta tersedianya fasilitas cuci tangan.
  • Sebuah sistem penerimaan pasien yang terorganisir akan memungkinkan kemudahan aliran informasi kepada pasien dari unit triage sampai keseluruh komponen unit gawat darurat, dari pemeriksaan sampai penanganan pasien.
  • Didapatnya data yang tepat waktu untuk kebutuhan pemberian pelayanan, termasuk sistem untuk memberitahukan kedatangan pasien dengan ambulan dan pelayanan gawat darurat lainnya.

Skala Triage di Unit Gawat Darurat

Secara internasional, sistem triage dengan lima tingkat setelah terbukti menjadi metode yang valid dan dapat diandalkan untuk mengkategorikan pasien yang datang ke UGD untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Skala ini menunjukkan tingkat presisi dan reliabilitas yang lebih besar bila dibandingkan dengan sistem tiga tingkat maupun sistem empat tingkat.
Gambaran dari sistem triage dapat dievaluasi berdasarkan empat kriteria sebagai berikut:
  • Utility: Skala harus relative mudah dipahami dan mudah untuk diterapkan oleh perawat dan dokter UGD.
  • Validitas: skala harus mengukur apa yang dirancang untuk mengukur, yaitu harus mengukur urgensi klinis sebagai lawan dari tingkat keparahan atau kompleksitas penyakit atau beberapa aspek lain dari presentasi atau lingkungan unit gawat darurat.
  • Keandalan: Penerapan skala harus independen dari perawat atau dokter yang melakukan peran, yaitu ia harus konsisten. ‘’Inter-raterreliability adalah istilah yang digunakan untuk ukuran statistic kesepakatan yang dicapai oleh dua atau lebih penilai dengan dengan menggunakan skala yang sama.
  • Keselamatan: keputusan triage harus sesuai dengan criteria klinis yang obyektif dan harus mengoptimalkan waktu untuk intervensi medis. Selain itu, skala triage harus cukup peka untuk mengidentifikasi masalah pasien.
Read More..

Komunikasi Dalam Triage

Komunikasi Dalam Triage


Instalasi Gawat Darurat seringkali merupakan unit dengan aktifitas tinggi dan emosional, dan ini bisa terjadi di triage. Bayangkan sebuah IGD yang sibuk pasien berbaris di depan meja, ambulans membawa banyak pasien pada brancard, keluarga dan anak-anak menangis, anak-anak dan staf yang lain mencari saran dan informasi. Perawat Triage sering berhubungan dengan semua kondisi tersebut, dan harus mampu berkomunikasi secara efektif dengan kerabat, petugas ambulans, tenaga perawat medis dan lainnya, dan staf administrasi dan pengunjung, serta membentuk suatu proses komunikasi fungsional untuk memungkinkan penilaian pasien efektif.
Sebagai klinisi triage, anda harus membuat penilaian berbasis kebutuhan berdasarkan informasi yang diperoleh selama pemeriksaan triage. Komunikasi yang efektif adalah penting untuk memperoleh informasi yang akurat, sehingga dapat membuat penilaian yang akurat pada waktunya. Saat masalah terjadi dalam proses komunikasi kemampuan perawat triage untuk mengumpulkan informasi dapat terganggu. Sangat penting bagi perawat triage untuk menyadari potensi hambatan komunikasi yang efektif dalam lingkungan triage dan untuk meminimalkan dampak tersebut pada pelaksanaan triage.
Jadi apa yang kita lakukan jika komunikasi verbal tidak mungkin, seperti dalam kasus seorang pasien yang tidak sadarkan diri ? Dalam kondisi demikian mempunyai dasar keterampilan dalam pemeriksaan fisik adalah yang terpenting, sebagai cara pengumpulan data yang digunakan untuk mengidentifikasi prediktor fisiologis, dan dengan demikian menentukan tingkat urgensi menjadi metode triage utama. Ingat juga bahwa dalam beberapa kasus komunikasi melalui orang ketiga seperti pengasuh, kerabat atau penterjemah dapat berkontribusi dalam proses penilaian. Dalam kasus seperti itu komunikasi juga mungkin menantang dimana pesan yang dikirim dari orang ketiga adalah interpretasi mereka sendiri, yang dapat beresiko menjadi hambatan dalam komunikasi.
Komunikasi adalah proses mengirim dan menerima pesan antar individu dalam konteks dinamis. Setiap individu membawa tanggung jawab sebagai pengirim maupun penerima pesan. Seluruh proses komunikasi dipengaruhi oleh berbagai faktor dan stimulus.
Ada beberapa isu penting terkait dengan pasien, perawat dan lingkungan yang dapat berdampak pada kompleksitas dari proses komuniksi. Komunikasi literature umumnya mengacu pada faktor-faktor yang mempengaruhi seperti kebiasaan-kebiasaan  eksternal atau kebisingan fisik, internal atau kebisingan psikologis, sumantik atau kebisingan interpretasional. Salah satu yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa pasien mungkin mengalami kesulitan memenuhi tanggung jawab mereka sebagai pengirim dan penerima komunikasi, karena ‘kebisingan’ yang terjadi dalam triage. Ini berarti bahwa perawat Triage akan sering membawa tanggung jawab untuk mengenali dan mengelola faktor-faktor yang mempengaruhi baik dari diri mereka maupun pasien.

Faktor-Faktor Yang Berdampak Pada Proses Komunikasi Di Triage

Proses komunikasi yang komplek selalu terjadi dalam berbagai faktor yang mempengaruhi. Semakin Perawat Triage memahami faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi, komunikasi akan lebih baik dan data yang berkualitas dapat dikumpulkan.

Faktor-faktor yang harus diperhatikan antara lain:
• Lingkungan fisik: adanya hambatan seperti kaca, meja, kurangnya privasi, kebisingan yang mengganggu dan pergerakan orang di area tersebut, semuanya akan berdampak pada proses komunikasi di triage.Hal ini sering memerlukan upaya ekstra yang dilakukan oleh perawat Triage untuk dapat mengatasi hambatan, dan meyakinkan pasien bahwa komunikasi mereka dengan perawat adalah bersifat pribadi, menyeluruh dan rahasia.
• Kendala Waktu: Penilaian triage umumnya harus tidak lebih dari dua sampai lima menit agar terjadi keseimbangan antara kecepatan dan ketelitian .
• Penggunaan Bahasa: Penggunaan jargon, baik itu jargon medis atau ‘bahasa jalanan‘, dapat mengakibatkan terjadi salah tafsir antara dua yang berbicara bahasa yang berbeda
• PerilakuNon-verbal: Bahasa tubuh, ekspresi wajah dan nada suara pada pasien dan perawat selama proses komunikasi merupakan aspek penting dalam komunikasi.
• Keragaman budaya: Ini termasuk perbedaan umur, jenis kelamin, etnis, bahasa, agama, status sosial ekonomi dan pengalaman hidup.
• Sifat masalah kesehatan: Masalah Kesehatan yang sangat sensitif, hal memalukan atau menimbulkan kecemasan akan rnempengaruhi cara informasi dikomunikasikan baik oleh pasien dan Perawat Triage.
• Harapan dan asumsi : individu datang ke triage dengan harapan sesuatu akan terjadi. Harapan ini dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang urgensi masalah kesehatan dan pengalaman masa lalu mereka terhadap pelayanan kesehatan, dan kadang-kadang tidak realistis. Keakraban Perawat Triage dengan lingkungan triage dan dengan lingkungan pasien dapat memberikan pengaruh positif dan negatif. Meskipun pengaruh tersebut dapat membantu dalam pengenalan gejala awal, hal itu dapat berpotensi menyebabkan asumsi yang tidak tepat dan bias.
•  Emosi: individu  termasuk pasien dan perawat  bereaksi terhadap stres dan kecemasan dengan cara yang berbeda dan dengan berbagai intensitas. Reaksi ini dapat berdampak pada kemampuan seseorang untuk memberikan informasi yang koheren dan kemampuan mereka untuk menjawab pertanyaan dengan jelas. Kemampuan Perawat Triage untuk tetap tenang dan mencapai komunikasi yang efektif dalam lingkungan ini sangat penting.

Tantangan Yang Dihadapi Dalam Komunikasi

Sering kali, orang datang dengan perilaku yang menghambat komunikasi yang tanpa disadari menyatakan bahwa orang tersebut seorang yang belum terpenuhi kebutuhan dasarnya. Memahami apa yang mendasari perilaku menentang komunikasi, secara bersama-sama dengan menyadari perilaku yang memicu respons emosional dalam diri mereka, dapat membantu perawat Triage untuk merespon balik perilaku itu sendiri.
Mengembangkan strategi dasar untuk menafsirkan perilaku komunikasi secara cepat dapat membantu dalam meminimalkan dampak perilaku yang menghambat komunikasi pada saat penilaian triage.

START (Simple Triage And Rapid Treatment) / METTAG (Triage Tagging Sistem)

Filosofi

Filosifi yang mendasari penggunaan Triage START (Simple Triage and Rapid Treatment) didasarkan pada nilai-nilai keadilan dan efisiensi dalam pelayanan kesehatan. Sistem triage telah dirancang untuk memberikan penilaian dan intervensi medis yang tepat waktu untuk semua orang yang datang ke IGD. Dampak dari kerangka ini adalah secara prinsip bahwa baik itu secara klinis atau etis adalah tidak wajar untuk membiarkan pasien menunggu lebih lama dari dua jam untuk memperoleh perawatan medis di IGD.

Aplikasi

Penerapan sistem Triage START (Simple Triage and Rapid Treatment) ditopang oleh perumusan keluhan utama, yang diidentifikasi dari riwayat penyakit singkat dari penyakit dan cedera saat ini. Keputusan Triage menggunakan skala yang dibuat berdasarkan observasi penampilan umum, fokus pada riwayat klinis dan data fisiologis. Klinisi yang melakukan peran harus memiliki pengalaman dalam penilaian dan penanganan berbagai penyakit dan cedera. Mereka juga harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan organisasi untuk melakukan peran. Penilaian kesesuaian mereka untuk melakukan peran ini juga harus dinilai secara individu secara konsisten dan mandiri dalam membuat keputusan klinis dalam kondisi yang dibatasi waktu.

Hasil Triage

Evakuasi

START atau Simple Triage and Rapid Treatment mengidentifikasi pasien mana yang memerlukan tindakan secepatnya.
Di lapangan, triage juga melakukan penilaian prioritas untuk evakuasi ke rumah sakit. Pada sistem START, pasien dievakuasi sebagai berikut :
- Pasien meninggal (hitam) ditinggalkan di posisi dimana mereka ditemukan, sebaiknya ditutup. Pada pemantauan START, seseorang dianggap meninggal bila tidak bernapas setelah dilakukan pembersihan jalan napas dan percobaan napas buatan.
- Immediate atau prioritas 1 (merah), dievakuasi dengan menggunakan ambulance dimana mereka memerlukan penanganan medis dalam waktu kurang dari 1 jam. Pasien ini dalam keadaan kritis dan akan meninggal bila tidak ditangani segera.
- Delayed atau prioritas 2 (kuning), evakuasinya dapat ditunda hingga seluruh prioritas 1 sudah dievakuasi. Pasien ini dalam kondisi stabil namun memerlukan penanganan medis lebih lanjut.
- Minor atau prioritas 3 (hijau), tidak dievakuasi sampai prioritas 1 dan 2 seluruhnya telah dievakuasi. Pasien ini biasanya tidak memerlukan penanganan medis lebih lanjut setidaknya selama beberapa jam. Pasien ini dapat berjalan, dan umumnya hanya memerlukan perawatan luka dan antiseptik. Lanjutkan re-triage untuk mencegah terlewatnya perburukan kondisi.

Triage Sekunder (dalam rumah sakit)

Pada sistem triage START lanjutan, triage sekunder dilakukan oleh paramedis atau perawat terlatih di Instalasi Rawat Darurat rumah sakit selama terjadinya bencana. Pasien dipilah menjadi 4 kelompok :
-  Hitam / expectant : pasien dengan cedera berat yang dapat meninggal karena cederanya, mungkin dalam beberapa jam atau hari selanjutnya. Luka bakar luas, trauma berat, radiasi dosis letal, atau kemungkinan tidak dapat bertahan hidup karena dalam krisis yang mengancam nyawa walaupun diberikan penanganan medis (cardiac arrest, syok septik, cedera kepala berat atau dada). Pasien ini sebaiknya dimasukkan dalam ruangan rawat dengan pemberian analgetik untuk mengurangi penderitaan.
- Merah / immediate : pasien yang memerlukan tindakan bedah segera atau tatalaksana lain untuk menyelamatkan nyawa, dan sebagai prioritas utama untuk tim bedah atau ditransport ke rumah sakit yang lebih lengkap. Pasien ini dapat bertahan hidup bila ditangani sesegera mungkin.
-  Kuning /  observation : kondisi pasien ini stabil sementara waktu namun memerlukan pengawasan dari tenaga medis terlatih dan re-triage berkala serta perawatan rumah saki.
-  Hijau / wait (walking wounded) : pasien ini memerlukan perhatian dokter dalam beberapa jam atau hari kemudian namun tidak darurat, dapat menunggu hingga beberapa jam atau dianjurkan untuk pulang dan kembali ke rumah sakit keesokan harinya (misal pada patah tulang sederhana, luka jaringan lunak multipel).
Penderita yang mengalami kelumpuhan, walaupun tidak mengancam nyawa, dapat menjadi prioritas pada keadaan IRD yang sudah tenang. Selama masa ini juga, kebanyakan trauma amputasi dapat dianggap sebagai “merah” karena tindakan bedah perlu dilakukan dalam beberapa menit walaupun luka amputasi ini tidak mengancam  nyawa.

Waktu Sampai Mendapat Pengobatan

Kriteria waktu yang melekat pada kategori  START menggambarkan waktu maksimum yang ideal dan aman bagi pasien untuk bisa menunggu untuk memperoleh pemeriksaan medis dan pengobatan. Sejauh mana kriteria ini dapat dipenuhi secara rutin dievaluasi berdasarkan standar kinerja yang direkomendasikan secara nasional.

Model Triage di Unit Gawat Darurat

Beberapa model triage yang bisa dijadikan pedoman dalam memilah pasien di unit gawat darurat.
Australasian Triage Scale (ATS), sebelumnya National Triage Scale (NTS)
National Triage Scale (NTS) telah dilaksanakan pada tahun 1993, menjadi sistem triage pertama yang digunakan unit gawat darurat rumah sakit pemerintah di seluruh Australia. Pada akhir 1990-an, NTS mengalami perbaikan dan kemudian berganti nama menjadi Australasia Triage Scale (ATS).
ATS memiliki lima katagori:
  • Immediately life-threatening (dengan segera mengancam nyawa atau kategori 1)
  • Imminently life-threatening (dalam waktu dekat akan mengancam nyawa atau kategori 2)
  • Potentially life-threatening or important time-critical treatment or severe pain (berpotensi mengancam nyawa atau perlu waktu penanganan yang segera atau nyeri berat atau kategori 3)
  • Potentially life-serious or situational urgency or significant complexity (berpotensi menjadi kondisi serius atau situasional urgensi atau tingkat kompleksitas yang signifikan atau kategori 4)
  • Less urgent/kurang mendesak atau kategori 5)

ATS telah disahkan oleh Australasian college Emergency Medicine dan diadopsi dalam indikator kinerja oleh the Australian Council on Healthcare Standards.

Canadian Triage and Acuity Scale (CTAS)

Canadian Triage and Acuity Scale (CTAS) secara resmi termasuk dalam kebijakan di seluruh Canada pada tahun 1997.The CTAS telah disahkan oleh Canadian Association of Emergency Physicians and the National Emergency Nurses Affiliation of Canada. Skala ini sangan mirip dengan ATS dalam hal tujuan waktu memperoleh penanganan, dengan pengecualian dari kategori 2, yang adalah <15 adalah="" ats="" dimana="" menit.="" menit="" p="">

Manchester Triage Scale (MTS)

Manchester Triage Scale (MTS) bersama-sama dikembangkan oleh Canadian Association of Emergency Physicians and the National Emergency Nurses Affiliation of Canada. MTS berbeda baik dengan ATS maupun CTAS dalam hal pendekatan berbasis algoritma untuk pengambilan keputusan. MTS menggunakan 52 flow chart yang membutuhkan pembuat keputusan untuk memilih algoritma yang tepat berdasarkan keluhan pasien, dan kemudian mengumpulkan dan menganalisis informasi sesuai dengan kondisi yang mengancam nyawa, rasa sakit, perdarahan, tingkat kesadaran, suhu, dan durasi tanda dan gejala.
MTS membutuhkan dokumentasi standar, dan pendekatan ini diyakini menghemat waktu yang diperlukan untuk dokumentasi. Selain itu, pendekatan ini dianggap sangat bermanfaat bagi perawat pemula karena proses pengambilan keputusan dilakukan dengan parameter yang sudah ditetapkan. Kesulitan penerapan MTS adalah membutuhkan sistem komputerisasi yang canggih.

Emergency Severity Index (ESI)

Emergency Severity Index (ESI) adalah suatu sistem kategorisasi triage yang didasarkan pada ketajaman pengobatan (Berapa lama seorang pasien harus diperiksa?) dan penggunaan sumber daya (Apa sumber daya yang cenderung diperlukan?). ESI telah disempurnakan pada beberapa kesempatan. ESI diketahui dapat diandalkan saat diuji dengan scenario khusus yang ditulis, dan saat ini sedang dipertimbangkan untuk digunakan di seluruh Amerika.

Simple Triage And Rapid Treatment START / Triage Tagging Sistem METTAG

Simple triage mengidentifikasi pasien mana yang memerlukan tindakan secepatnya. Immediate atau prioritas 1 (merah), pasien ini dalam keadaan kritis dan akan meninggal bila tidak ditangani segera. Delayed atau prioritas 2 (kuning), evakuasinya dapat ditunda hingga seluruh prioritas 1 sudah dievakuasi. Pasien ini dalam kondisi stabil namun memerlukan penanganan medis lebih lanjut.
Minor atau prioritas 3 (hijau), tidak dievakuasi sampai prioritas 1 dan 2 seluruhnya telah dievakuasi. Pasien ini biasanya tidak memerlukan penanganan medis lebih lanjut setidaknya selama beberapa jam. Lanjutkan re-triage untuk mencegah terlewatnya perburukan kondisi. Pasien ini dapat berjalan, dan umumnya hanya memerlukan perawatan luka dan antiseptik. Pasien meninggal (hitam) ditinggalkan di posisi dimana mereka ditemukan, sebaiknya ditutup. Pada pemantauan START, seseorang dianggap meninggal bila tidak bernapas setelah dilakukan pembersihan jalan napas dan percobaan napas buatan.
Read More..
Next Prev home

Popular Posts